10.Juventus Era Lippi (1994-2003)
Marcello Lippi mengambil alih posisi manajer Juventus pada awal musim
1994-95. Ia lantas mengantarkan Juventus memenangi Seri-A untuk pertama
kalinya sejak pertengahan 1980-an di musim 1994-95. Pemain bintang
yang ia asuh saat itu adalah Ciro Ferrara, Roberto Baggio, Gianluca
Vialli dan pemain muda berbakat bernama Alessandro Del Piero. Lippi
memimpin Juventus untuk memenangi Liga Champions Eropa pada musim itu
juga, dengan mengalahkan Ajax Amsterdam melalui adu penalti, setelah
skor imbang 1-1 pada babak normal, dimana Fabrizio Ravanelli
menyumbangkan satu gol untuk Juve.
Sesaat setelah bangkit kembali, para pemain Juventus yang biasa-biasa
saja saat itu secara mengagumkan bisa mengembangkan diri mereka menjadi
pemain-pemain bintang. Mereka adalah Zinedine Zidane, Filippo Inzaghi
dan Edgar Davids. Juve kembali memenangi Seri-A musim 1996–97 dan
1997–98, termasuk juga Piala Super Eropa 1996
dan Piala Interkontinental 1996. Juventus juga mencapai final Liga
Champions di musim 1997 dan 1998, tetapi mereka kalah oleh Borussia
Dortmund (Jerman) dan Real Madrid (Spanyol).
Setelah dua musim absen karena dikontrak oleh Inter Milan (dan gagal),
Marcello Lippi kembali ke Juventus di awal 2001. Pria penyuka cerutu
ini lantas membawa beberapa pemain biasa, yang kembali ia berhasil
sulap menjadi pemain hebat, di antaranya Gianluigi Buffon, David
Trézéguet, Pavel Nedvěd dan Lilian Thuram, dimana para pemain tersebut
membantu Juve kembali memenangi dua gelar Seri-A di musim 2001-02 dan
2002-03. Juve juga berhasil maju kembali ke final Liga Champions,
sayangnya mereka kalah oleh sesama tim Italia lain, AC Milan. Tahun
berikutnya, Lippi diangkat menjadi manajer timnas Italia setelah
bersaing ketat dengan Fabio Capello, dan mengakhiri eranya sebagai
pelatih terbaik Juventus di era 1990-an dan awal 2000-an
9.Benfica era Eusebio (1960-1970)
Benfica adalah tim pertama untuk memecahkan dominasi Real Madrid di
awal Piala Champions Eropa . Setelah memenangkan dua Piala Champion
berturut-turut melawan FC Barcelona (1961) dan Real Madrid (1962). Itu
adalah kali terakhir Benfica memenangkan kompetisi internasional.
Selama dekade ini, Benfica mencapai final Piala Champions Eropa tiga
kali, tetapi mereka gagal meraihnya, setelah kalah melawan Milan (1963),
Internazionale (1965), dan Manchester United (1968).
Pada tahun 1968, Benfica dianggap sebagai tim terbaik Eropa oleh
Perancis Sepakbola , meskipun kekalahannya di Piala Champions. Banyak
keberhasilan di tahun 1960-an dicapai berkat bintang mereka Eusebio.
Bahkan, tahun 1960-an adalah periode terbaik sejarah Benfica, di mana
klub memenangkan delapan Kejuaraan (1960, '61, '63, '64, '65, '67, '68,
dan '69), tiga Portugal Piala (1961, '64, dan '69), dan dua Piala
Champions Eropa (1961 dan '62).
8.Juventus Era Trappatoni (1981-1993)
Era tangan dingin Trapattoni benar-benar membuat Seri-A porak poranda di
1980-an. Juve sangat perkasa di era tersebut, dengan gelar Seri-A
empat kali di era tersebut. Setelah 6 pemainnya ikut andil dalam timnas
Italia yang menjuarai Piala Dunia 1982 dengan Paolo Rossi sebagai
salah satu pemain Juve kemudian terpilih menjadi Pemain Terbaik Eropa
pada 1982, sesaat setelah berlangsungnya Piala Dunia di tahun tersebut
ditambah dengan kedatangan bintang Prancis Michel Platini, Juventus
kembali difavoritkan di musim 1982-83. Namun Juventus yang juga
disibukkan dengan jadwal kejuaraan Eropa memulai kompetisi dengan
lambat. Hal itu ditunjukkan dengan menelan kekalahan dari Sampdoria di
pertandingan pembuka musim serta menang dengan tidak meyakinkan atas
Fiorentina dan Torino. Sementara di Eropa, mereka berhasil menyingkirkan
Hvidovre (Denmark) dan Standard Liege (Belgia) di penyisihan. Akan
tetapi, Juventus kembali ke trek juara di musim dingin bersamaan
keberhasilan mereka menembus perempat final Liga Champions.
Selanjutnya, kemenangan atas Roma melalui 2 gol dari Platini dan Brio
membuat jarak keduanya berselisih 3 poin dengan Roma di posisi puncak.
Namun, karena konsentrasi Juve terpecah antara Serie A dan Liga
Champions akhirnya tidak berhasil mengejar AS Roma yang menjadi juara.
Juventus seharusnya bisa menumpahkan kekecewaannya di Liga saat mereka
bertemu Hamburg di final Liga Champions tapi hal itu tidak terjadi.
Berada di posisi kedua di kompetisi domestic dan Eropa, Juventus
akhirnya berhasil merebut gelar penghibur saat menjuarai Piala Italia
dan Piala Interkontinental.
Musim panas 1983, Juve kehilangan dua pilar inti mereka. Dino Zoff
gantung sepatu di usia 41 tahun sedangkan Bettega beralih ke Kanada
untuk mengakhiri karirnya di sana. Juve lantas merekrut kiper baru dari
Avellino: Stefano Tacconi dan Beniamino Vinola dari klub yang sama.
Sementara Nico Penzo menjadi pendampong Rossi di lini depan. Juve pada
saat itu berkonsentrasi penuh di dua kompetisi, Liga dan Piala Winner.
Hasilnya, melalui penampilan yang konsisten sepanjang musim, Juve
merengkuh gelar liga satu minggu sebelum kompetisi usai. Dan gelar ini
ditambah gelar lainnya di Piala Winner saat mereka mengalahkan Porto 2-1
di Basel pada 16 Mei 1984. Dua gelar ini sangat bersejarah dan
merupakan prestasi bagi kapten klub Scirea dan kawan-kawan.
Setelah era keemasan Rossi usai, Michel Platini kemudian secara
mengejutkan berhasil menjadi pemain terbaik Eropa tiga kali
berturut-turut; 1983, 1984 dan 1985, dimana sampai saat ini belum ada
pemain yang bisa menyamai dirinya. Juventus menjadi satu-satunya klub
yang mampu mengantarkan pemainnya menjadi pemain terbaik Eropa sebanyak
empat tahun berurutan.Platini juga menjadi bintang saat Juve berhasil
menjadi juara Liga Champions Eropa pada 1985 dengan sumbangan satu gol
semata wayangnya. Tragisnya, final melawan Liverpool FC dari Inggris
tersebut yang berlangsung di Stadion Heysel Belgia, harus dibayar mahal
dengan kematian 39 tifoso Juventus akibat terlibat kerusuhan dengan
para hooligans dari Liverpool. Sebagai hukuman, tim-tim Inggris
dilarang mengikuti semua kejuaraan Eropa selama lima tahun.Juventus
kemudian merebut scudetto terakhir mereka di era 1980-an pada musim
1985-86, yang juga menjadi tahun terakhir Trappatoni di Juventus.
Memasuki akhir 1980-an, Juve gagal menunjukkan performa terbaiknya,
mereka harus mengakui keunggulan Napoli dengan bintang Diego Maradona,
dan kebangkitan dua tim kota Milan, AC Milan dan Inter Milan.Pada 1990,
Juve pindah kandang ke Stadio delle Alpi, yang dibangun untuk persiapan
Piala Dunia 1990.
7.Inter Milan Era Hererra (1960-1968)
Setelah masa perang, Inter memenangi gelar Seri A lagi pada tahun 1953
dan yang ketujuh di tahun 1954. Setelah memenangi beberapa trofi ini,
Inter memasuki masa keemasan mereka yang disebut
La Grande Inter.
Selama masa keemasan mereka, dibawah asuhan Pelatih Helenio Herrera,
Inter memenangkan tiga trofi di tahun 1963, 1965, dan 1966. Pada waktu
ini, Inter juga terkenal dengan kemenangan Piala Eropa dua kali
berturut-turut. Di tahun 1963, Inter memenangkan trofi Piala Eropa
mereka setelah mengalahkan klub terkenal Real Madrid. Musim
selanjutnya, bermain di kandang mereka sendiri, Inter memenangkan trofi
Piala Eropa untuk kedua kalinya setelah mengalahkan klub dari Portugal,
Benfica.
6.liverpool era Bob Paisley (1974-1983)
Kejayaan Liverpool bersama Bill Shankly dilanjutkan Bob Paisley yang
pada saat itu berusia 55 tahun. Dia menjabat sebagai manajer Liverpool
FC dari tahun 1974 sampai 1983 dan hanya pada awal tahun Bob Paisley
tidak dapat memberikan gelar untuk Liverpool FC. Selama 9 tahun Bob
Paisley menjabat sebagai manajer Liverpool FC, beliau memberikan total
21 tropi, termasuk 3 Piala Champion, 1 Piala UEFA, 6 juara Liga Inggris
dan 3 Piala Liga secara berturut-turut. Dengan semua gelar itu tidak
salah bila Bob Paisley menjadi manajer tersukses yang pernah menangani
klub Inggris. Tidak hanya sukses memberikan gelar untuk Liverpool FC,
tetapi Bob Paisley juga sukses dalam melakukan regenerasi di tubuh
Liverpool FC dengan tampilnya para bintang muda seperti: Graeme Souness,
Alan Hansen, Kenny Dalglish dan Ian Rush. Walaupun Bob Paisley akan
mewariskan sebuah skuat muda yang sangat hebat dan berbakat, tetapi
dengan semua torehan gelar itu akan menjadi sangat berat buat siapapun
penerusnya.
Sebagai penerus Bob Paisley yang pensiun di tahun 1983, Joe Fagan yang
pada saat itu berusia 62 tahun, berhasil mempersembahkan treble buat
Liverpool yaitu juara Liga, juara Piala Liga dan juara Piala Champion.
Raihan ini menjadikan Liverpool FC sebagai klub sepakbola Inggris yang
berhasil meraih 3 gelar juara sekaligus dalam 1 musim kompetisi.
Sayangnya, catatan keemasan itu sedikit ternoda oleh insiden di stadion
Heysel. Insiden yang terjadi sebelum pertandingan final Piala Champion
antara Liverpool FC dan Juventus ini menewaskan 39 orang, sebagian
besar adalah pendukung Juventus. Insiden ini mengakibatkan pelarangan
bagi semua klub sepakbola Inggris untuk berkompetisi di Eropa selama 5
tahun. Dan Liverpool FC dilarang mengikuti semua kompetisi Eropa selama
10 tahun yang akhirnya dikurangi menjadi 6 tahun. Selain itu, 14
Liverpudlian didakwa bersalah atas peristiwa yang dikenal dengan
Tragedi Heysel. Setelah peristiwa mengerikan itu, Joe Fagan memutuskan
untuk pensiun dan memberikan tongkat manajerial selanjutnya kepada Kenny
Dalglish yang ditunjuk sebagai player-manager. Joe Fagan menyerahkan
tugas manajerial Liverpool FC kepada Kenny Dalglish yang pada saat itu
sudah menjadi pemain hebat tetapi masih harus membuktikan kapabilitas
sebagai seorang manajer.
Pada masa kepemimpinan Kenny Dalglish, Liverpool FC dibawa menjadi
juara Liga Inggris sebanyak 3 kali dan juara Piala FA sebanyak 2 kali,
termasuk gelar ganda juara Liga Inggris dan juara Piala FA pada musim
kompetisi 1985/86. Bila tidak terkena sangsi dari UEFA, bisa dipastikan
Liverpool FC menjadi penantang serius untuk merebut Piala Champion pada
saat itu. Kesuksesan Liverpool FC di masa kepemimpinan Kenny Dalglish
kembali dibayangi kejadian mengerikan lainnya yaitu Tragedi
Hillsborough. Pada pertandingan semi-final Piala FA melawan Nottingham
Forrest tanggal 15 April 1989, ratusan penonton dari luar stadion
memaksa masuk ke dalam stadion yang mengakibatkan Liverpudlian yang
berada di tribun terjepit pagar pembatas stadion. Hal ini mengakibatkan
94 Liverpudlian meninggal di tempat kejadian, 1 Liverpudlian meninggal 4
hari kemudian di rumah sakit dan 1 Liverpudlian lainnya meninggal
dunia setelah koma selama 4 tahun. Akibat Tragedi Hillsborough ini
pemerintah Inggris melakukan penelitian kembali mengenai faktor
keamanan stadion sepakbola di negaranya. Dikenal dengan sebutan Taylor
Report, menyebutkan bahwa penyebab dari Tragedi Hillsborough ini adalah
faktor penonton yang melebihi kapasitas stadion karena kurangnya
antisipasi dari pihak keamanan. Akhirnya pemerintah Inggris
mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan setiap klub divisi I Inggris
untuk meniadakan tribun berdiri. Setelah menjadi saksi hidup dari
tragedi mengerikan Heysel dan Hillsborough, 'King' Kenny Dalglish tidak
pernah bisa lepas dari trauma yang menghinggapi dirinya. Akhirnya pada
tanggal 22 Februari 1990 beliau mengumumkan pengunduran dirinya
sebagai manajer Liverpool FC. Pengumuman yang sangat mengejutkan dunia
sepakbola pada saat itu, karena Liverpool FC sedang bersaing ketat
dengan Arsenal dalam perebutan gelar Liga Inggris. Alasan yang
disebutkan oleh Kenny Dalglish pada saat itu adalah tidak bisa lagi
menghadapi tekanan dalam menahkodai Liverpool FC. Selama beberapa
minggu Liverpool FC ditangani oleh pelatih tim utama Ronnie Moran
sebelum akhirnya Liverpool FC menunjuk Graeme Souness sebagai manajer
berikutnya. 'King' Kenny Dalglish kemudian dikenang sebagai legenda
terhebat Liverpool FC karena sangat sukses baik sebagai pemain maupun
manajer.
5.Muenchen Era Franz Beckenbauer (1970-1977)
Udo Lattek mengambil alih pada tahun 1970. Setelah memenangkan piala di
musim pertamanya, Lattek pimpin Bayern menjadi juara ketiga Jerman.
Pertandingan penentu dalam musim 1971-72 melawan Schalke 04 adalah
pertandingan pertama di baru Stadion Olimpiade , dan juga pertandingan
disiarkan live pertama dalam sejarah Bundesliga. Bayern mengalahkan
Schalke 5-1 dan dengan demikian merebut gelar, juga pengaturan beberapa
catatan, termasuk poin diperoleh dan gol.
Bayern juga memenangi dua kejuaraan berikutnya, tetapi puncaknya adalah
kemenangan mereka di final Piala Eropa melawan Atletico Madrid , Bayern
menang 4-0 yang setelah replay. Selama tahun-tahun berikutnya tim tidak
berhasil dalam negeri, tetapi mempertahankan gelar Eropa mereka dengan
mengalahkan Leeds United di akhir ketika Roth dan kemenangan Müller
dijamin dengan tujuan akhir. Setahun kemudian di Glasgow , AS
Saint-Étienne yang dikalahkan oleh Roth dan Bayern menjadi klub ketiga
untuk memenangkan trofi dalam tiga tahun berturut-turut. Trofi akhir
dimenangkan oleh Bayern di era ini adalah Piala Intercontinental , di
mana mereka mengalahkan klub Brasil Cruzeiro
4.Ajax Era Johan Cruyff (1965-1973)
Ajax salah satu klub paling sukses di dunia, menurut IFFHS .Ajax adalah
klub paling sukses ketujuh Eropa abad ke-20 Klub ini salah satu dari
lima tim yang telah mendapatkan hak untuk menjaga Piala Eropa dan
mengenakan lencana beberapa pemenang, mereka menang berturut-turut di
1971-1973. Pada tahun 1972, mereka menyelesaikan treble Eropa dengan
memenangkan Belanda Eredivisie , Piala KNVB , dan Piala Eropa, untuk
tanggal, mereka adalah satu-satunya tim untuk menjaga Piala Eropa dan
mencapai treble Eropa.Mereka juga salah satu dari tiga tim untuk
memenangkan treble dan Piala Intercontinental pada tahun musim /
kalender yang sama;Hal ini dicapai pada musim 1971-72. Ajax, Juventus
dan Bayern Munich adalah tiga klub untuk telah memenangkan semua tiga
besar UEFA kompetisi klub.
Bersama Cruyff mereka klub di segani Dieranya ,Selain sederet
piala,Mereka juga memainkan sepakbola Menyerang yg disebut Total
Football.
3.Real Madrid Di Stefano (1953-1954)
Santiago Bernabéu Yeste terpilih menjadi presiden Real Madrid tahun 1943
.
Di bawah kepemimpinannya, Real Madrid kemudian berhasil membangun
Stadion Santiago Bernabéu dan tempat berlatih klub di Ciudad Deportiva
yang sebelumnya sempat rusak akibat Perang Saudara Spanyol. Pada 1953,
Bernabeu kemudian mulai membangun tim dengan cara mendatangkan
pemain-pemain asing, salah satunya adalah Alfredo Di Stéfano.
Pada tahun 1955, berdasar dari ide yang diusulkan oleh jurnalis olahraga
Perancis dan editor dari L'Equipe, Gabriel Hanot, Bernabéu, Bedrignan,
dan Gusztáv Sebes menciptakan sebuah turnamen sepak bola percobaan
dengan mengundang klub-klub terbaik dari seluruh daratan Eropa.
Turnamen ini kemudian menjadi dasar dari Liga Champions UEFA yang
berlangsung saat ini. Di bawah bimbingan Bernabéu, Real Madrid
memantapkan dirinya sebagai kekuatan utama dalam sepak bola, baik di
Spanyol maupun di Eropa. Real Madrid memenangkan Piala Eropa lima kali
berturut-turut antara tahun 1956 dan 1960, di antaranya kemenangan 7–3
atas klub Jerman, Eintracht Frankfurt pada tahun 1960. Setelah kelima
berturut-turut sukses, Real secara permanen diberikan piala asli
turnamen dan mendapatkan hak untuk memakai lencana kehormatan UEFA.Real
Madrid kemudian memenangkan Piala Eropa untuk keenam kalinya pada tahun
1966 setelah mengalahkan FK Partizan 2–1 pada pertandingan final
dengan komposisi tim yang seluruhnya terdiri dari pemain berkebangsaan
Spanyol, sekaligus menjadi pertama kalinya dalam sejarah pertandingan
Eropa. Tim ini kemudian dikenal lewat julukan "Ye-ye". Nama "Ye-ye"
berasal dari "Yeah, yeah, yeah" chorus dalam lagu The Beatles berjudul
"She Loves You"
setelah empat anggota tim berpose untuk harian Diario Marca mengenakan
wig khas The Beatles. Generasi "Ye-ye" juga berhasil menjadi juara kedua
Piala Champions pada tahun 1962 dan 1964.
Pada 1970-an, Real Madrid memenangi kejuaraan liga sebanyak 5 kali
disertai 3 kali juara Piala Spanyol. Madrid kemudian bermain pada final
Piala Winners UEFA pertamanya pada tahun 1971 dan kalah dengan skor 1–2
dari klub Inggris, Chelsea. Pada tanggal 2 Juli 1978, presiden klub
Santiago Bernabéu meninggal ketika Piala Dunia FIFA sedang berlangsung
di Argentina. FIFA kemudian menetapkan tiga hari berkabung untuk
menghormati dirinya selama turnamen berlangsung. Tahun berikutnya, klub
mengadakan Kejuaraan Trofi Santiago Bernabéu sebagai bentuk penghormatan
pada mantan presidennya tersebut.
2.Milan Era Sacchi (1987-1991)
Setelah serentetan masalah menerpa Milan, dan membuat klub kehilangan suksesnya, AC Milan dibeli oleh
enterpreneur
Italia, Silvio Berlusconi. Berlusconi adalah sinar harapan Milan kala
itu. Dia datang pada 1986. Berlusconi memboyong pelatih baru untuk
Milan, Arrigo Sacchi, serta tiga orang pemain Belanda, Marco van Basten,
Frank Rijkaard, dan Ruud Gullit, untuk mengembalikan tim pada kejayaan.
Ia juga membeli pemain lainnya, seperti Roberto Donadoni, Carlo
Ancelotti, dan Giovanni Galli.
Dibawah kepelatihan Sacchi, Milan bermain berbeda dengan tim-tim Italia
lain, dengan mengambil gaya bermain Brazil saat memenangkan Piala Dunia
1970, dan Ajax di era total football Rinus Michels. Dengan
meninggalkan pola man-marking, menggantinya dengan permainan yang
intensif, menyerang, dan pressing ketat, dia merevolusi wajah sepakbola
Italia.
Barisan deffence Milan saat diisi oleh kuartet Italian best, di komandoi
oleh Franco Baresi dan menampilkan sosok Paolo Maldini muda, dan trio
Belanda: van Basten, Ruud Gullit, dan Frank Rijkaard yang menyokong
penyerangan. Tim ini memenangkan Club World Cup dua kali, dan di Mei
1990, Milan mengalahkan Benfica untuk menjaga throphy tetap bermukim di
San Siro, dan menjadi tim terakhir hingga saat ini yang dapat
memenangkan Piala Champions 2 kali berturut-turut.
1.Barcelona Era Pep Guardiola (2008-....)
Disebut - sebut sebagai Tim Terbaik sepanjang sejarah,bukan hanya karena
memenangkan 6 gelar dalam setahun ataupun 2 Liga Champion,3 Laliga ,1
Copa Delrey,3 Super Copa Spanyol,1 Piala Dunia Antar Klub,Tetapi karena
filosofi bermain yg selalu menyerang, Penguasaan Bola hingga
85%,Mayoritas pemain dari tim Yunior (Lamasia),Messi,Xavi dan Iniesta
adalah peraih 3 besar pemain terbaik versi FIFA (FIFA Ballon D'Or).
Era keemasan Barcelona dimulai sejak kehadiran Frank Rijkaard dengan
membeli pemain macam Ronaldinho,Eto'o,Daniel Alves,hingga Thiery Henry.
hingga th 2008 mengangkat Pep dari Pelatih Junior.
Hingga Kin Pep Guardiola mempersembahkan 10 Piala Bergengsi bagi Cules dalam 3 th kepelatihannya.