Bila kita berbicara mengenai tragedi Sampit yang menohok keras rasa kemanusiaan kita, maka casus bellum
atau sebab pecahnya perang antaranak-anak bangsa itu
menjadi kurang penting lagi. Bahwa sebab-musabab tersebut
harus dicari dan kemudian diletakkan dalam perspektif yang
panjang agar tidak terulang, saya setuju sepenuhnya.
Memang model pembunuhan atau bahkan genocide
ala Sampit, bukanlah yang pertama kali terjadi di negeri
kita dalam dua tahun terakhir. Akan tetapi ada dimensi baru
yang sangat mengerikan dalam tragedi di Kalimantan Tengah
itu, yakni mayat-mayat tanpa kepala yang berserakan di jalan
dan di mana-mana, telah merupakan pemandangan yang sangat
menggoncangkan rasa kemanusiaan seluruh bangsa Indonesia.
Apa
yang dikatakan pemerintah bahwa korban yang meninggal
sekitar 400-an orang, jelas merupakan angka yang sudah
direkayasa supaya tidak menghadirkan kepanikan bangsa. Namun
saya mendapat dua laporan langsung dari lokasi kejadian,
bahwa sesungguhnya yang meninggal sudah lebih dari 1.000
orang.
Tidak
bisa tidak bahwa yang bertanggung jawab paling utama dari
tragedi Sampit, bukanlah Pemda, atau Komandan Kodim, atau
Kapolres di sana --bahkan juga bukan sekadar Pangdam, Polda
atau pun Gubernur di Kalimantan Tengah, tetapi tentu secara
logis dan realistis tanggung jawab itu ada di pemerintahan
pusat. Mengapa saya katakan demikian? Oleh karena, kita
mengetahui di dalam otonomi daerah yang sudah diberlakukan
per 1 Januari lalu, masalah keamanan dan pertahanan nasional
tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Kebiadaban
di Sampit, rasa-rasanya memang tidak ada taranya di dunia
pada abad 20 maupun awal abad 21 ini. Serdadu Serbia yang
sangat bengis pun, tidak memotong kepala musuhnya. Demikian
juga pembiadab zionis dari Israel, tidak pernah memotong
kepala orang Palestina. Malahan kalau kita melihat
kebiadaban komunis di Kamboja maupun Vietman dan berbagai
tempat yang lain, mereka merupakan sejahat-jahatnya manusia
tetapi mereka pun tidak memotong kepala manusia dalam jumlah massal.
Inilah
saya kira tragedi puncak dari bangsa Indonesia, yang memang
harus segera dicarikan penyelesaian. Namun apa boleh
dikata, Abdurrahman Wahid yang menjadi komandan seluruh
bangsa Indonesia, ternyata malahan ngacir ke luar negeri.
Naik
haji merupakan sebuah kewajiban bagi orang yang belum
pernah menunaikannya. Saya yakin Abdurrahman Wahid sudah
berkali-kali pernah naik haji, sehingga haji yang sekarang
ini paling banter jatuhnya hanya dalam kategori sunah. Atau
bahkan, siapa tahu, menjadi makruh atau mungkin tidak
diridai Allah jika dibandingkan dengan tanggung jawabnya
yang sangat besar di negaranya sendiri.
Kita
sulit memahami, bagaimana mungkin seorang presiden yang
sedang menghadapi kemelut bangsa yang sangat sulit, dan
menjelang berangkat pun juga telah diberitahu bahwa tragedi
Sampit sudah mulai tampak menjalar semakin luas, tetapi
tetap saja pergi ke luar negeri dengan agenda selain naik
haji adalah mengadakan kunjungan yang hampir-hampir tidak
berarti secara diplomatik ke negara-negara kecil di Timur
Tengah.
Sesungguhnya
kalau kita ingat, hal ini pun bukan yang pertama kali.
Ketika Bengkulu dilanda gempa bumi yang demikian destruktif,
sehingga puluhan ribu anak-anak bangsa di sana kehilangan
tempat tinggal, dan hampir seluruh bangunan besar di
Bengkulu tidak bisa digunakan lagi akibat gempa berkekuatan
dahsyat, tetap saja Abdurrahman Wahid ngeloyor ke Amerika
untuk sesuatu hal yang tidak jelas.
Maka
hal ini sesungguhnya menimbulkan ketidakpercayaan yang
semakin luas di kalangan bangsa Indonesia, karena punya
seorang pemimpin yang betul-betul tidak memiliki
sensitivitas terhadap nasib bangsa yang dipimpinnya. Kata
orang bijak, seorang pemimpin memang mempunyai fungsi yang
sangat strategis untuk menjadikan bangsa yang dipimpinnya
menjadi lebih baik atau lebih buruk.
Saya
berat untuk mengatakan hal berikut ini, tetapi demi
kejujuran maka harus saya katakan apa adanya. Kalau
Abdurrahman Wahid sampai dibiarkan bertengger di kursi
presiden terlalu lama, maka bangsa ini hampir pasti akan
menjadi lebih porak poranda. Bukan saja dalam artian fisik,
tetapi dalam tata berpikir dan sistem penalaran, kita
betul-betul akan menjadi bangsa yang rusak, bangsa yang ilogis serta
irasional. Lebih daripada itu, tentu juga akan menjadi bangsa
yang tidak berani mengambil tanggung jawab untuk dirinya
sendiri.
Maka
tragedi Sampit sekarang ini merupakan tantangan buat kita
semua. Saya pernah menyatakan bahwa saya lebih dari setuju
apabila diterapkan darurat sipil di sana, untuk menghentikan
pembantaian sebuah suku terhadap suku yang lain dari
anak-anak bangsa.
Namun
demikian ada satu hal yang lebih penting lagi, bahwa
kerusuhan ala Sampit yang telah merembet ke Palangkaraya dan
tidak mustahil meluas ke daerah-daerah lain, akan menjadi
pemicu utama buat terjadinya disintegrasi nasional atau pun
disintegrasi teritorial. Apalagi bila pemerintah pusat tidak
menunjukkan penanganan serta komitmen yang bulat, dan
mengerahkan segenap daya dan dananya untuk mengatasi
peristiwa Sampit atau peristiwa-peristiwa lain seperti yang terjadi
di Kalimantan Tengah.
Terus
terang bagi setiap orang yang memiliki kejernihan pandangan
serta kedalaman nurani, pasti akan berpendapat bahwa model
penanganan kerusuhan Sampit menunjukkan ketiadaan
profesionalisme. Saya terkejut ketika pemerintah mengatakan
suasana di Sampit akan ditunggu sekitar tiga hari, sebelum
kemudian menetapkan darurat sipil. Kalau setelah tiga hari
ternyata makin banyak jatuh korban, lantas baru akan
dilakukan darurat sipil.
Padahal
satu anak nyawa anak manusia, dalam pandangan Kitab Suci
tidak ada taranya, bahkan dilukiskan tidak bisa ditukar
dengan dunia dan seisinya. Begitu mahal dan begitu mulianya
nyawa anak cucu Adam, sehingga dikatakan barang siapa
membunuh seorang manusia tanpa dosa, seolah-olah dia telah
membunuh umat manusia seluruhnya. Demikian juga seseorang
yang menyelamatkan satu nyawa manusia dengan ketulusan, maka
dia seolah-olah telah menyelamatkan seluruh umat manusia.
Bayangkanlah
logika pemerintah yang sangat berbahaya ini; bahwa untuk
menetapkan darurat sipil masih ditunggu tiga hari. Walaupun
sekarang telah berlalu masa tiga hari, namun cara memahami
masalah yang sudah sedemikian gawat itu betul-betul
menunjukkan --sekali lagi mohon maaf-- ketiadaan
profesionalisme di dalam kepemimpinan Abdurrahman Wahid.
Maka
apabila kita renungkan, dari seluruh masalah yang kita
hadapi, yang paling berat adalah masalah disintegrasi. Ini
bukan saja menyangkut masalah teknis ekonomi, masalah
pembagian kekuasaan, masalah perimbangan keuangan
pusat-daerah dan tetek bengek lainnya, tetapi ini masalah
keutuhan Republik Indonesia yang telah kita warisi sejak 55
tahun yang silam.
Saya
hanya bisa mengatakan, kalau terjadi gejala disintegrasi
yang semakin meluas, maka dalam sejarah nanti yang akan
disalahkan adalah generasi kita yang sekarang ini. Kita akan
dicatat sebagai generasi yang tidak becus mengurusi negara
yang demikian luas dan indah, karena mungkin kekerdilan jiwa
kita sendiri, keterbatasan visi, maupun yang lebih penting
lagi ketiadaan komitmen untuk membela bangsa, Tanah Air, dan
negara Indonesia. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar