Ocean Blue Flame
assalamu'alaikum wr.wb selamat datang di sepuluhbesardijagadraya.blogspot.com, kami menerima kritik dan saran anda dengan cara mengirim data dan email beserta kritik dan saran pembaca ke fitrar@yahoo.com, terima kasih wassalamu'alaikum wr.wb

Rabu, 09 Mei 2012

kerusuhan yang paling mengenaskan di dunia.

Bila kita berbicara mengenai tragedi Sampit yang menohok keras rasa kemanusiaan kita, maka casus bellum atau sebab pecahnya perang antaranak-anak bangsa itu menjadi kurang penting lagi. Bahwa sebab-musabab tersebut harus dicari dan kemudian diletakkan dalam perspektif yang panjang agar tidak terulang, saya setuju sepenuhnya.
Memang model pembunuhan atau bahkan genocide ala Sampit, bukanlah yang pertama kali terjadi di negeri kita dalam dua tahun terakhir. Akan tetapi ada dimensi baru yang sangat mengerikan dalam tragedi di Kalimantan Tengah itu, yakni mayat-mayat tanpa kepala yang berserakan di jalan dan di mana-mana, telah merupakan pemandangan yang sangat menggoncangkan rasa kemanusiaan seluruh bangsa Indonesia.
Apa yang dikatakan pemerintah bahwa korban yang meninggal sekitar 400-an orang, jelas merupakan angka yang sudah direkayasa supaya tidak menghadirkan kepanikan bangsa. Namun saya mendapat dua laporan langsung dari lokasi kejadian, bahwa sesungguhnya yang meninggal sudah lebih dari 1.000 orang.
Tidak bisa tidak bahwa yang bertanggung jawab paling utama dari tragedi Sampit, bukanlah Pemda, atau Komandan Kodim, atau Kapolres di sana --bahkan juga bukan sekadar Pangdam, Polda atau pun Gubernur di Kalimantan Tengah, tetapi tentu secara logis dan realistis tanggung jawab itu ada di pemerintahan pusat. Mengapa saya katakan demikian? Oleh karena, kita mengetahui di dalam otonomi daerah yang sudah diberlakukan per 1 Januari lalu, masalah keamanan dan pertahanan nasional tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Kebiadaban di Sampit, rasa-rasanya memang tidak ada taranya di dunia pada abad 20 maupun awal abad 21 ini. Serdadu Serbia yang sangat bengis pun, tidak memotong kepala musuhnya. Demikian juga pembiadab zionis dari Israel, tidak pernah memotong kepala orang Palestina. Malahan kalau kita melihat kebiadaban komunis di Kamboja maupun Vietman dan berbagai tempat yang lain, mereka merupakan sejahat-jahatnya manusia tetapi mereka pun tidak memotong kepala manusia dalam jumlah massal.
Inilah saya kira tragedi puncak dari bangsa Indonesia, yang memang harus segera dicarikan penyelesaian. Namun apa boleh dikata, Abdurrahman Wahid yang menjadi komandan seluruh bangsa Indonesia, ternyata malahan ngacir ke luar negeri.
Naik haji merupakan sebuah kewajiban bagi orang yang belum pernah menunaikannya. Saya yakin Abdurrahman Wahid sudah berkali-kali pernah naik haji, sehingga haji yang sekarang ini paling banter jatuhnya hanya dalam kategori sunah. Atau bahkan, siapa tahu, menjadi makruh atau mungkin tidak diridai Allah jika dibandingkan dengan tanggung jawabnya yang sangat besar di negaranya sendiri.
Kita sulit memahami, bagaimana mungkin seorang presiden yang sedang menghadapi kemelut bangsa yang sangat sulit, dan menjelang berangkat pun juga telah diberitahu bahwa tragedi Sampit sudah mulai tampak menjalar semakin luas, tetapi tetap saja pergi ke luar negeri dengan agenda selain naik haji adalah mengadakan kunjungan yang hampir-hampir tidak berarti secara diplomatik ke negara-negara kecil di Timur Tengah.
Sesungguhnya kalau kita ingat, hal ini pun bukan yang pertama kali. Ketika Bengkulu dilanda gempa bumi yang demikian destruktif, sehingga puluhan ribu anak-anak bangsa di sana kehilangan tempat tinggal, dan hampir seluruh bangunan besar di Bengkulu tidak bisa digunakan lagi akibat gempa berkekuatan dahsyat, tetap saja Abdurrahman Wahid ngeloyor ke Amerika untuk sesuatu hal yang tidak jelas.
Maka hal ini sesungguhnya menimbulkan ketidakpercayaan yang semakin luas di kalangan bangsa Indonesia, karena punya seorang pemimpin yang betul-betul tidak memiliki sensitivitas terhadap nasib bangsa yang dipimpinnya. Kata orang bijak, seorang pemimpin memang mempunyai fungsi yang sangat strategis untuk menjadikan bangsa yang dipimpinnya menjadi lebih baik atau lebih buruk.
Saya berat untuk mengatakan hal berikut ini, tetapi demi kejujuran maka harus saya katakan apa adanya. Kalau Abdurrahman Wahid sampai dibiarkan bertengger di kursi presiden terlalu lama, maka bangsa ini hampir pasti akan menjadi lebih porak poranda. Bukan saja dalam artian fisik, tetapi dalam tata berpikir dan sistem penalaran, kita betul-betul akan menjadi bangsa yang rusak, bangsa yang ilogis serta irasional. Lebih daripada itu, tentu juga akan menjadi bangsa yang tidak berani mengambil tanggung jawab untuk dirinya sendiri.
Maka tragedi Sampit sekarang ini merupakan tantangan buat kita semua. Saya pernah menyatakan bahwa saya lebih dari setuju apabila diterapkan darurat sipil di sana, untuk menghentikan pembantaian sebuah suku terhadap suku yang lain dari anak-anak bangsa.
Namun demikian ada satu hal yang lebih penting lagi, bahwa kerusuhan ala Sampit yang telah merembet ke Palangkaraya dan tidak mustahil meluas ke daerah-daerah lain, akan menjadi pemicu utama buat terjadinya disintegrasi nasional atau pun disintegrasi teritorial. Apalagi bila pemerintah pusat tidak menunjukkan penanganan serta komitmen yang bulat, dan mengerahkan segenap daya dan dananya untuk mengatasi peristiwa Sampit atau peristiwa-peristiwa lain seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah.
Terus terang bagi setiap orang yang memiliki kejernihan pandangan serta kedalaman nurani, pasti akan berpendapat bahwa model penanganan kerusuhan Sampit menunjukkan ketiadaan profesionalisme. Saya terkejut ketika pemerintah mengatakan suasana di Sampit akan ditunggu sekitar tiga hari, sebelum kemudian menetapkan darurat sipil. Kalau setelah tiga hari ternyata makin banyak jatuh korban, lantas baru akan dilakukan darurat sipil.
Padahal satu anak nyawa anak manusia, dalam pandangan Kitab Suci tidak ada taranya, bahkan dilukiskan tidak bisa ditukar dengan dunia dan seisinya. Begitu mahal dan begitu mulianya nyawa anak cucu Adam, sehingga dikatakan barang siapa membunuh seorang manusia tanpa dosa, seolah-olah dia telah membunuh umat manusia seluruhnya. Demikian juga seseorang yang menyelamatkan satu nyawa manusia dengan ketulusan, maka dia seolah-olah telah menyelamatkan seluruh umat manusia.
Bayangkanlah logika pemerintah yang sangat berbahaya ini; bahwa untuk menetapkan darurat sipil masih ditunggu tiga hari. Walaupun sekarang telah berlalu masa tiga hari, namun cara memahami masalah yang sudah sedemikian gawat itu betul-betul menunjukkan --sekali lagi mohon maaf-- ketiadaan profesionalisme di dalam kepemimpinan Abdurrahman Wahid.
Maka apabila kita renungkan, dari seluruh masalah yang kita hadapi, yang paling berat adalah masalah disintegrasi. Ini bukan saja menyangkut masalah teknis ekonomi, masalah pembagian kekuasaan, masalah perimbangan keuangan pusat-daerah dan tetek bengek lainnya, tetapi ini masalah keutuhan Republik Indonesia yang telah kita warisi sejak 55 tahun yang silam.
Saya hanya bisa mengatakan, kalau terjadi gejala disintegrasi yang semakin meluas, maka dalam sejarah nanti yang akan disalahkan adalah generasi kita yang sekarang ini. Kita akan dicatat sebagai generasi yang tidak becus mengurusi negara yang demikian luas dan indah, karena mungkin kekerdilan jiwa kita sendiri, keterbatasan visi, maupun yang lebih penting lagi ketiadaan komitmen untuk membela bangsa, Tanah Air, dan negara Indonesia. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Entri Populer

Arsip Blog

Iklan Baris

tekan ( X ) untuk melanjutkan

Daftar Blog Saya